Rabu, 02 November 2011

Karya ilmiah judul: Pemanfaatan energi alternative kelapa sawit


Karya ilmiah
judul:

Pemanfaatan energi alternative kelapa sawit

 











KELAS : 1DF01
DEWI SRI LESTARI
N.P.M : 51211973
                                         SARAH SAID ZAIDAN 
                                         N.P.M : 58211248

UNIVERSITAS GUNADARMA



Pemanfaatan Produk Samping Kelapa Sawit Sebagai Sumber Energi Alternatif Terbarukan


LATAR BELAKANG :
Sebagai bangsa yang besar dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta jiwa, Indonesia menghadapi masalah energi yang cukup mendasar. Sumber energi yang tidak terbarukan (non-renewable) tingkat ketersediaannya semakin berkurang. Sebagai contoh, produksi minyak bumi Indonesia yang telah mencapai puncaknya pada tahun 1977 yaitu sebesar 1.7 juta barel per hari terus menurun hingga tinggal 1.125 juta barel per hari tahun 2004. Di sisi lain konsumsi minyak bumi terus meningkat dan tercatat 0.95 juta barel per hari tahun 2000, menjadi 1.05 juta barel per hari tahun 2003 dan sedikit menurun menjadi 1.04 juta barel per hari tahun 2004 (Tabel 1).

Tabel 1. Produksi dan Konsumsi Minyak Bumi Indonesia

Tahun
Produksi (juta barel/hari)
Konsumsi (juta barel/hari)
2000
1.4
0.9446
2001
1.3
0.9632
2002
1.2
0.9959
2003
1.1
1.0516
2004
1.125
1.0362
Sumber: Media Indonesia, 8 September 2004 dan Kompas, 27 Mei 2004.
Indonesia yang semula adalah tergolong net-exporter di bidang bahan bakar minyak (BBM), sejak tahun 2000 telah menjadi net importer jika produksi minyak mentah Indonesia dikurangi dengan bagian kontraktor asing sebesar 35% produksi. Pada tahun 2003, impor bersih BBM Indonesia mencapai 0.336 juta barel per hari atau sedikit lebih kecil dari produksi bagian kontraktor asing. Impor bersih ini diperkirakan akan terus meningkat dengan semakin menurunnya produksi ladang-ladang minyak Indonesia dan meningkatnya konsumsi minyak penduduk Indonesia.Dalam upaya mengatasi masalah defisit energi tersebut, pengembangan sumber energi terbarukan merupakan suatu keharusan. Terhadap tuntutan ini, industri kelapa sawit mempunyai potensi kontribusi yang sangat besar. Produk utama kelapa sawit yaitu minyak sawit (CPO) kini sudah mulai dikembangkan sebagai sumber energi terbarukan dengan memprosesnya menjadi biodiesel, seperti yang sudah dikembangkan di Malaysia. Produk samping kelapa sawit seperti cangkang dan limbah pabrik CPO juga potensial sebagai sumber biomassa yang dapat dikonversi menjadi energi terbarukan. Alternatif ini memiliki beberapa kelebihan. Pertama, sumber energi tersebut merupakan sumber energi yang bersifat renewable sehingga bisa menjamin kesinambungan produksi. Kedua, Indonesia merupakan produsen utama minyak sawit sehingga ketersediaan bahan baku akan terjamin dan industri ini berbasis produksi dalam negeri. Ketiga, pengembangan alternatif tersebut merupakan proses produksi yang ramah lingkungan. Keempat, upaya tersebut juga merupakan salah satu bentuk optimasi pemanfaatan sumberdaya untuk meningkatkan nilai tambah.Sejalan dengan hal tersebut, maka dalam tulisan ini akan dibahas mengenai pemanfaatan produk samping sawit (PSS) sebagai sumber energi terbarukan. Pembahasan difokuskan pada potensi secara empiris produk samping kelapa sawit sebagai sumber energi terbarukan. Di samping itu, teknologi yang sudah berkembang serta status penguasaan teknologi Indonesia dalam hal produk samping kelapa sawit sebagai sumber energi dibahas secara ringkas di bagian akhir tulisan ini.
CARA PENGELOLAHAN :
Kebun dan pabrik kelapa sawit menghasilkan limbah padat dan cair dalam jumlah besar yang belum dimanfaatkan secara optimal. Serat dan sebagian cangkang sawit biasanya terpakai untuk bahan bakar boiler di pabrik, sedangkan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) yang jumlahnya sekitar 23% dari tandan buah segar yang diolah, biasanya hanya dimanfaatkan sebagai mulsa atau kompos untuk tanaman kelapa sawit (Goenadi et al., 1998). Pemanfaatan dengan cara tersebut hanya menghasilkan nilai tambah yang terendah di dalam rangkaian proses pemanfaatannya.
neraca massa sawit
Gambar 1. Kesetaraan biomassa dan energi dalam proses pengolahan sawit di pabrik kelapa sawit
Proses pengolahan Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit menjadi Crude Palm Oil (CPO) secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 1. Dari 1 ton TBS yang diolah dapat diperoleh CPO sebanyak 140 – 220 kg. Proses ini membutuhkan energi sebanyak 20–25 kWh/t dan 0.73 ton steam (uap panas). Proses pengolahan ini akan menghasilkan limbah padat, limbah cair dan gas. Limbah cair yang dihasilkan sebanyak 600–700 kg POME (Palm Oil Mill Effluent). Limbah padat yang dihasilkan adalah serat dan cangkang sebanyak 190 kg dan 230 kg TKKS segar (kadar air 65%). Selain itu juga dihasilkan limbah emisi gas dari boiler dan incenerator (Lacrosse, 2004).
Potensi energi yang dapat dihasilkan dari produk samping sawit dapat dilihat dari nilai energi panas (calorific value). Nilai energi panas (calorific value) dari beberapa produk samping sawit ditunjukkan pada Tabel 2. Produk samping yang memiliki nilai energi panas tinggi adalah cangkang dan serat. Cangkang dan serat (fibre) dimanfaatkan sebagian besar atau seluruhnya sebagai bahan bakar boiler PKS. Produk samping yang lain belum banyak dimanfaatkan sebagai sumber energi. TKKS yang juga memiliki nilai energi panas cukup tinggi saat ini banyak dimanfaatkan sebagai mulsa atau diolah menjadi kompos. Sebagian PKS masih membakar TKKS dalam incinerator untuk mengurangi volume limbah TKKS, walaupun sudah dilarang sejak tahun 1996.
Tabel 2. Nilai energi panas (calorific value) dari beberapa produk samping sawit (berdasarkan berat kering).

Rata-rata calorific value (kJ/kg)
Kisaran (kJ/kg)
TKKS
18 795
18 000 – 19 920
Serat
19 055
18 800 – 19 580
Cangkang
20 093
19 500 – 20 750
Batang
17 471
17 000 – 17 800
Pelepah
15 719
15 400 – 15 680

Sumber: Ma et.al. (2004)
TKKS adalah limbah biomassa yang potensial sebagai sumber energi terbarukan. TKKS dapat digunakan sebagai bahan bakar generator listrik. Sebuah PKS dengan kapasitas pengolahan 200_000 ton TBS/tahun akan menghasilkan seba-nyak 44_000 ton TKKS (kadar air 65%)/tahun. Nilai kalor (heating value) TKKS kering adalah 18.8 MJ/kg, dengan efisiensi konversi energi sebesar 25%, dari energi tersebut ekuivalen dengan 2.3 MWe (megawatt-electric). TKKS dapat juga dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas walaupun proses pengolahannya lebih sulit daripada biogas dari limbah cair.
Di samping itu, limbah padat dapat juga diproses menjadi briket arang sebagai sumber energi terbarukan. Dengan teknologi yang relatif sederhana, pemanfaatan limbah padat menjadi briket arang merupakan suatu pilihan yang sangat realistis dan prospektif.
Menurut Loebis dan Tobing (1989), limbah cair PKS berasal dari air kondensat rebusan (150–175 kg/ton TBS), air drab (lumpur) klarifikasi (350–450 kg/ton TBS) dan air hidroksiklon (100-150 kg/ton TBS). PKS dengan kapasitas olah 30 ton TBS/jam menghasilkan limbah cair sebanyak 360–480 m3 per hari dengan konsentrasi BOD rata-rata sebesar 25_000 mg/l. Limbah cair tidak dapat dibuang langsung ke perairan, karena akan sangat berbahaya bagi lingkungan. Saat ini umumnya PKS menampung limbah cair tersebut di dalam kolam-kolam terbuka (lagoon) dalam beberapa tahap sebelum dibuang ke perairan. Secara alami limbah cair di dalam kolam akan melepaskan emisi gas rumah kaca yang berbahaya bagi lingkungan. Gas-gas tersebut antara lain adalah campuran dari gas methan (CH4) dan karbon dioksida (CO2). Kedua gas ini sebenarnya adalah biogas yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Potensi biogas yang dapat dihasilkan dari 600–700 kg POME kurang lebih mencapai 20 m3 biogas (Lacrosse, 2004). Penelitian pemaanfaatan POME untuk menghasilkan biogas saat ini menjadi perhatian banyak pihak. Selain sebagai sumber energi, teknologi biogas ini juga dapat mengurangi dampak emisi gas rumah kaca yang berbahaya bagi lingkungan.

jenis limbah kelapa sawit dan pemanfaatannya


Berikut jenis dan manfaat limbah kelapa sawit.
1. TKKS (Tandan kosong kelapa sawit ) untuk pupuk organik Tandan kosong kelapa sawit daoat dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik yang memiliki kandungan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanah dan tanaman. Tandan kosong kelapa sawit mencapai 23% dari jumlah pemanfaatan limbah kelapa sawit tersebut sebagai alternatif pupuk organik juga akan memberikan manfaat lain dari sisi ekonomi.
Ada beberapa alternatif pemanfaatan TKKS yang dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Pupuk Kompos Pupuk kompos merupakan bahan organik yang telah mengalami proses fermentasi atau dekomposisi yang dilakukan oleh micro-organisme. Pada prinsipnya pengomposan TKSS untuk menurunkan nisbah C / N yang terkandung dalam tandan agar mendekati nisbah C / N tanah. Nisbah C / N yang mendekati nibah C / N tanah akan mudah diserap oleh tanaman.
b. Pupuk Kalium Tandan kosong kelapa sawit sebagai limbah padat dapat dibakar dan akan menghasilkan abu tandan. Abu tandan tersebut ternyata memiliki kandungan 30-40%, K2O, 7%P2O5, 9%CaO, dan 3%MgO. Selain itu juga mengandung unsur hara mikro yaitu 1.200ppmFe, 1.00 ppm Mn, 400 ppmZn, dan 100 ppmCu. Sebagai gambaran umum bahwa pabrik yang mengolah kelapa sawit dengan kapasitas 1200 ton TBS/ hari akan menghasilkan abu tandan sebesar 10,8%/hari. Setara dengan 5,8 ton KCL; 2,2 ton kiersit; dan 0,7ton TSP. dengan penambahan polimer tertentu pada abu tandan dapat dibuat pupuk butiran berkadar K2O 30-38% dengan pH 8 – 9.
c. Bahan Serat Tandan kosong kelapa sawit juga menghasilkan serat kuat yang dapat digunakan untuk berbagai hal, diantaranya serat berkaret sebagai bahan pengisi jok mobil dan matras, polipot (pot kecil, papan ukuran kecil dan bahan pengepak industri.
2. Tempurung buah sawit untuk arang aktif Tempurung kelapa sawit merupakan salah satu limbah pengolahan minyak kelapa sawit yang cukup besar, yaitu mencapai 60% dari produksi minyak. Arang aktif juga dapat dimanfaatkan oleh berbagai industri. Antara lain industri minyak, karet, gula, dan farmasi.
3. Batang dan tandan sawit untuk pulp kertas Kebutuhan pulp kertas di Indonesia sampai saat ini masih dipenuhi dari impor. Padahal potensi untuk menghasilkan pulp di dalam negeri cukup besar. Salah satu alternatif itu adalah dengan memanfaatkan batang dan tandan kosong kelapa sawit untuk digunakan bahan pulp kertas dan papan serat.
4. Batang kelapa sawit untuk perabot dan papan artikel Batang kelapa sawit yang sudah tua tidak produktif lagi, dapat dimanfaatkan menjadi produk yang bernilai tinggi. Batang kelapa sawit tersebut dapat dibuat sebagai bahan perabot rumah tangga seperti mebel, furniture,atau sebagai papan partikel. Dari setiapbatang kelapa sawit dapat diperoleh kayu sebanyak 0.34 m3.
5. Batang dan pelepah sawit untuk pakan ternak Batang dan pelepah dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Pada prinsipnya terdapat tiga cara pengolahan batang kelapa sawit untuk dijadikan pakan ternak, yaitu pertama pengolahan menjadi silase, kedua dengan perlakuan NaOH dan yang ketiga adalah pengolahan dengan menggunakan uap.
Memanfaatkan Produk Samping Sawit untuk Energi
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam memanfaatkan produk samping sawit sebagai sumber energi. Seperti diketahui, kelapa sawit Indonesia merupakan salah satu komoditi yang mengalami perkembangan yang terpesat. Pada era tahun 1980-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an, industri kelapa sawit berkembang sangat pesat. Pada periode tersebut, areal meningkat dengan laju sekitar 11% per tahun. Sejalan dengan perluasan areal, produksi juga meningkat dengan laju 9.4% per tahun. Konsumsi domestik dan ekspor juga meningkat pesat dengan laju masing-masing 10% dan 13% per tahun. Pada awal tahun 2001–2004, luas areal kelapa sawit dan produksi masing-masing tumbuh dengan laju 3.97% dan 7.25% per tahun, sedangkan ekspor meningkat 13.05% per tahun (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2005). Sampai dengan tahun 2020, industri kelapa sawit Indonesia diperkirakan akan terus tumbuh, walau dengan laju pertumbuhan yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan periode sebelum tahun 2000. Sampai dengan tahun 2010, produksi CPO diperkirakan akan meningkat antara 5%–6%, sedangkan untuk periode 2010–2020, pertumbuhan produksi diperkirakan berkisar antara 2%–4% (Susila, 2004).
Pertumbuhan produksi CPO berarti pula peningkatan ketersediaan produk samping sawit yang antara lain bersumber dari TBS. Seperti terlihat pada Gambar 2, produksi TBS diperkirakan akan terus meningkat dan mencapai sekitar 83 juta ton pada tahun 2020, sehingga dapat dihasilkan 17 ton CPO. Volume tersebut merupakan sumber produk samping yang sangat besar untuk menghasilkan energi.
grafik2
Gambar 2. Grafik Perkembangan dan Proyeksi Produksi CPO Indonesia 2000/2010.
Volume produksi CPO tersebut dihasilkan dari 205 pabrik kelapa sawit yang sebagian besar berlokasi di Sumatera (177 pabrik), dan lainnya di Kalimantan, Sulawesi dan Jawa. Sebagai ilustrasi, produksi TBS Indonesia pada tahun 2004 diperkirakan sebesar 53_762 juta ton TBS. Produksi ini akan terus meningkat dan pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 64_000 juta ton TBS. Dari produksi TBS tahun 2004 dapat diperkirakan produksi POME sebanyak 32_257 – 37_633 juta ton dan TKKS sebanyak 12_365 juta ton. Jumlah ini sangat melimpah dan berpotensi besar sebagai sumber energi terbarukan.
Potensi produksi biogas dari seluruh limbah cair tersebut kurang lebih adalah sebesar 1075 juta m3. Nilai kalor (heating value) biogas rata-rata berkisar antara 4700–6000 kkal/m3 (20–24 MJ/m3) (CTL, 2004). Dengan nilai kalor tersebut 1075 juta m3 biogas akan setara dengan 516_000 ton gas LPG, 559 juta liter solar, 666.5 juta liter minyak tanah, dan 5052.5 MWh listrik. TKKS juga memiliki potensi energi yang besar sebagai bahan bakar generator listrik. TKKS sebanyak 12_365 juta ton berpotensi menghasilkan energi sebesar 23_463.5 juta MWe.
Alternatif lain pemanfaatan limbah padat kelapa sawit yang paling sederhana untuk Indonesia adalah menjadikannya briket arang. Hal ini dapat dilakukan dengan memperbaiki sifat tersebut dengan cara pemadatan melalui pembriketan, pengeringan dan pengarangan. Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) telah merancang bangun paket teknologi untuk produksi briket arang dari limbah sawit, baik tandan kosong maupun cangkang sawit.
Pada dasarnya ada dua metode pembuatan briket arang, yaitu (i) bahan baku-penggilingan-pengayakan-pembriketan-pengarangan, dan (ii) bahan baku-pengarangan-penggilingan-pengayakan-pembriketan. Untuk limbah sawit ternyata metode kedua lebih sesuai untuk menghasilkan briket arang yang bermutu tinggi.
TKKS dan cangkang sawit memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga untuk proses pengarangannya juga memerlukan tungku yang berbeda. Untuk TKKS, proses pengarangan lebih sesuai dilakukan dalam tungku vertikal, sedangkan untuk cangkang sawit lebih baik dilakukan proses pengarangan pada tungku horisontal. Rendemen yang dihasilkan dari proses pengarangan tersebut adalah 25–30%.
Proses pembriketan limbah sawit dapat dilakukan dengan mesin pembriket tipe ulir dengan kapasitas 1 ton per hari. Mesin ini menghasilkan briket arang berbentuk silinder dengan diameter 5 cm dan panjang 10–30 cm. ukuran ini sesuai dengan briket arang komersial yang dibuat dari serbuk gergaji. Briket arang sawit memiliki keunggulan yaitu permukaannya halus dan tidak meninggalkan warna hitam apabila dipegang.
Karakteristik briket arang yang terbuat dari TKKS dan cangkang sawit sangat berbeda, seperti yang terlihat pada Tabel 3. Briket arang TKKS memiliki kadar abu yang lebih tinggi, sedangkan kadar kalor dan karbon terikatnya lebih rendah. Ditinjau dari segi kalor, kedua briket arang tersebut telah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk briket arang kayu yaitu minimal 5000 kalori/gram.
Tabel 3. Karakteristik Briket Arang dari TKKS dan Cangkang Sawit
No
Karakteristik
Briket arang tandan kosong sawit
Briket arang cangkang sawit

1
Kadar air, %
9.77
8.47

2
Kadar abu, %
17.15
9.65

3
Kadar zat terbang, %
(volatile matter)
29.03
21.10

4
Kadar karbon terikat, %
(fixed carbon)
53.82
69.25

5
Keteguhan tekan, kg/cm2
2.10
7.80




6
Nilai kalor, kal/g
5_578.00
6_600.00





TUJUAN :

Potensi biomassa dari produk samping sawit sebagai sumber energi terbarukan mulai dikembangkan di beberapa negera produsen sawit utama. Malaysia sebagai salah satu negera produsen CPO utama telah mengembangkan teknologi produksi biogas dari POME. Dari sisi teknologi Malaysia lebih maju daripada Indonesia dalam mengembangkan teknologi ini. Sejak tahun 2001 Malaysia melaksanakan program pengembangan energi terbarukan yang disebut dengan Small Renewable Energy Programe (SREP) (Yeoh, 2004). Salah satu energi terbarukan yang dikembangkan dalam program ini adalah pengembangan biogas dari POME (Ma et al, 2003). Saat ini mereka telah berhasil mengembangkan bioreaktor untuk produksi biogas dari POME. Bumibiopower (Pantai Remis) Sdn. Bhd. adalah salah satu perusahaan di Malaysia yang melaksanakan proyek untuk mengembangkan pabrik produksi biogas dari POME (Mitsubishi Securities, 2004). Pabrik ini direncanakan akan mengolah POME dari salah satu pabrik kelapa sawit yaitu Pantai Remis Paml Oil Mill. Biogas yang dihasilkan juga akan digunakan untuk generator listrik dengan kapasitas 1 MW – 1.5 MW.
COGEN bekerjasama dengan ASEAN melaksanakan proyek pengembangan energi terbarukan dari limbah biomassa sebanyak 8 proyek ( 3 proyek di Thailand, 3 proyek di Malaysia, dan 2 proyek di Singapura). Proyek ini memanfaatkan limbah biomassa, salah satunya adalah TKKS, sebagai bahan bakar generator listrik. Proyek pemanfaatan TKKS sebagai bahan bakar listrik dilaksanakan oleh TSH Bio Energy Sdn Bhn di Sabah, Malaysia. Kapasitas listrik yang dihasilkan adalah sebesar 14 MW (Lacrosse, 2004).
Pengembangan produk samping sawit sebagai sumber energi terbarukan masih tertinggal dibandingkan negera-negara lain. Menurut Abdullah (2004) dari total potensi biomassa (TKKS termasuk di dalamnya) sebesar 178 MWe baru sekitar 0.36% yang dimanfaatkan. Melalui Kep.Men. No. 1122 K/30/MEM/2002 tentang Distribusi Pembangkit Listrik Skala Kecil, Indonesia mulai mengembangkan energi terbarukan. Tahun 2005 Indonesia mendapatkan bantuan sebesar $ US 500.000 dollar dari ADB (Bank Pembangunan Asia) untuk mengembangkan energi terbarukan dari limbah cair kelapa sawit (Kompas, 27 Desember 2004).
Batasan :
            Cara atau metode yang digunakan dalam membuat karya tulis ini hanya berdasarkan pada study literatur yang diperoleh dari website sebagai sumber referensi.  



ISI :
Sesuai dengan UU Republik Indonesia No. 18 tahun 2004 tentang perkebunan, ditegaskan bahwa “ Perkebunan diselenggarakan atas asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan serta keadilan (Pasal 2); dan perkebunan mempunyai fungsi: a. ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional; b. ekologi, yaitu peningkatan konservasi tanah dan air, penyerap karbon, penyedia oksigen, dan penyangga kawasan lindung; dan c. sosial budaya, yaitu sebagai perekat dan pemersatu bangsa”(Pasal 4)
Komitmen untuk melaksanakan kegiatan industri berwawasan lingkungan dan berkelanjutan diwujudkan melalui pengelolaan sumber daya secara efektif dan efisien. Mengambil contoh pengendalian limbah pabrik, Perusahaan telah menerapkan pengurangan jumlah limbah yang dibuang ke media lingkungan berdasarkan empat prinsip, yaitu: pengurangan dari sumber (reduce), sistem daur ulang (recycle), pengambilan (recovery) dan pemanfaatan kembali (reuse) secara berkelanjutan menuju produksi bersih (Casson, A., 2003 : 24).
Aplikasi limbah cair pabrik kelapa sawit pada perkebunan kelapa sawit dengan sistem flatbed  yaitu dengan cara :
  1. Limbah cair pabrik kelapa sawit dapat digunakan sebagai pupuk. Aplikasi limbah cair memiliki keuntungan antara lain dapat mengurangi biaya pengolahan limbah cair dan sekaligus berfungsi sebagai sumber hara bagi tanaman kelapa sawit.
  2. Metode aplikasi limbah cair yang umum digunakan adalah sistem flatbed, yaitu dengan mengalirkan limbah melalui pipa ke bak-bak distribusi dan selanjutnya ke parit primer dan sekunder (flatbed).
  3. Pembangunan instalasi aplikasi limbah cair membutuhkan biaya yang relatif mahal. Namun investasi ini diikuti dengan peningkatan produksi TBS dan penghematan biaya pupuk sehingga penerimaan juga meningkat. Aplikasi limbah cair 12,6 mm ECH/ha/bulan dapat menghemat biaya pemupukan hingga 46%/ha. Di samping itu, aplikasi limbah cair juga akan mengurangi biaya pengolahan limbah.
Limbah cair pabrik kelapa sawit telah banyak digunakan di perkebunan kelapa sawit baik perkebunan negara maupun perkebunan swasta. Penggunaan limbah cair mampu meningkatkan produksi dan limbah cair tidak menimbulkan pengaruh yang buruk terhadap kualitas air tanah
Perkebunan kelapa sawit ramah lingkungan, karena perkebunan menyimpan lebih banyak karbon dioksida (CO2) dan melepaskan lebih banyak oksigen (O2) , yang mana ini menguntungkan bagi lingkungan. Beberapa ilmuwan melakukan penelitian  dan hasil terbaru menunjukkan bahwa seperti kasus pada tumbuhan apapun, pohon-pohon kelapa sawit memang menyita karbon karena saat mereka tumbuh – karbon adalah blok pertumbuhan dasar dalam jaringan tumbuhan.
Data dari Wetlands International, sebuah kelompok lingkungan hidup menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit bukanlah bandingan bagi hutan alami dalam hal penyimpanan karbon, tetapi minyak kelapa masih dapat berperan dalam usaha pengurangan emisi gas rumah kaca. Kelapa sawit adalah satu dari bibit minyak yang paling produktif di dunia – dalam ukuran berdasar per unit area, biodiesel dihasilkan dari kelapa sawit jauh melampaui bio diesel konvensional seperti jagung, kedelai, bibit gula rapeseet, dan tebu (WI, 2007).
Salah satu pola pengembangan perkebunan kelapa sawit yang sesuai dengan undang-undang dan cukup menarik untuk diaplikasikan saat ini adalah pola Transmigration Corporate Farming (TFC). Pola ini adalah pola penyempurnaan dari pengembangan perkebunan inti plasma sebelumnya, dimana para petani plasma hanya mengerjakan lahannya saja dan tidak melibatkan kepemilikan pemerintah daerah dan pusat. Pada pola TFC ini perusahaan inti wajib memberikan 20% sahamnya berupa lahan kepada petani (2 ha per petani), sehingga petani merasa memiliki perusahaan dan akan bekerja dengan sungguh-sungguh untuk memaksimalkan hasilnya yang pada akhirnya akan menguntungkan perusahaan juga (Tryfino.2006 : 4)
 Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Indonesia diperkirakan akan mengalami defisit energi dengan volume defisit semakin meningkat. Hal ini terjadi karena sementara konsumsi energi terus meningkat, sumber energi, khususnya yang tidak terbarukan, semakin menurun. Untuk mengatasi hal ini, pengembangan sumber energi yang terbarukan merupakan pilihan yang strategis. Dalam konteks ini, pemanfaatan produk samping sawit dan limbahnya mempunyai potensi besar untuk dimanfaatkan. Produk samping sawit dan limbahnya mempunyai potensi besar sebagai sumber energi yang terbarukan. Dengan perkembangan industri kelapa sawit yang masih relatif pesat, upaya untuk mewujudkan hal tersebut perlu mendapat prioritas. Indonesia perlu segera memacu diri untuk mewujudkan hal tersebut sehingga ketertinggalan dengan negara lain dalam hal teknologi dan implementasi dapat terus diperkecil. Hal ini memerlukan dukungan semua pihak, khususnya pelaku bisnis, lembaga riset, dan pemerintah. Kebijakan Pemerintah perlu diarahkan pada pemberian insentif finansial kepada industri yang merintis kegiatan pengembangan energi terbarukan seperti ini, misalnya dengan memanfaatkan sebagian dana kompensasi pencabutan subsidi BBM.
   KESIMPULAN
Prospek pertumbuhan industri kelapa sawit ini sangat cerah mengingat permintaannya yang terus meningkat, baik akibat dari pertambahan yang alami seperti kenaikan pertambahan penduduk yang otomatis akan meningkatan permintaan minyak goreng, berkembangnya industri hilir, dan yang terakhir yang cukup mempengaruhi kenaikan permintaan CPO dunia secara signifikan yaitu pengembangan energi alternatif pengganti minyak bumi.
Diprediksikan bio fuel ini akan mengubah bentuk ketergantungan dunia akan energi yang tidak terbarukan (non renewable). Memang saat ini harganya relatif mahal, tetapi seiring dengan semakin meningkatnya kapasitas produksi dan konsumsi maka diprediksikan harga akan semakin murah.
Persaingan bio fuel berbahan baku minyak kelapa sawit dengan yang berbahan baku minyak kacang kedelai atau jagung yang umumnya didominasi negara maju, dimenangkan oleh bio fuel yang berbahan minyak kelapa sawit, karena biaya produksinya jauh lebih murah. Disamping itu dalam kapasitas produksi, minyak kelapa sawit jauh lebih besar daripada minyak kacang kedelai/jagung.
Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat diuntungkan dengan adanya perubahan penggunaan energi dunia ini karena hanya dua negara yang mendominasi industri/perkebunan kelapa sawit, yaitu Malaysia dan Indonesia. Malaysia pertumbuhannya cenderung melambat karena adanya keterbatasan lahan, sedangkan di Indonesia potensi pengembangan lahannya masih terbuka luas.
REFRENSI :
Abdullah, K. (2004). Biomass Energy Potentials and Utilization in Indonesia. Laboratory of Energy and Agricultural Electrification, Department of Agricultural Engineering, IPB and Indonesian Renewable Energy Society (IRES). Institute Pertanian Bogor, Indonesia.
Cipta Tani Lestari (CTL) (2004). Teknologi Reaktor Biogas Plastik. Energi Alternatif Pedesaan yang Ekonomis. CTL Pusat Inkubator Bisnis ITB.
Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan (2005). Pokok-Pokok Rencana Makro Pengembangan Agribisnis Komoditi Perkebunan 2005-2009. Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan.
Goenadi, D.H, Y. Away, Sukin, Y., Yusuf, H. H., Gunawan & Aritonang, P. (1998). Pilot-Scale Compossing of Oil Palm Using ligno-cellulosic Decompossing Bioactivator. 1998 International Oil Palm Conference. Nusa Dua Bali, September 23-25, 1998.
Lacrosse, L. (2004). Clean and Efficient Biomass Cogeneration Technology in ASEAN, COGEN 3 Seminar on “Business Prospects In Southeast Asia For European Cogeneration Equipment”, 23 November 2004, Krakow, Poland.
Loebis, B. & Tobing, P.L. (1989). Potensi pemanfaatan limbah kelapa sawit. Buletin Perkebunan. 20: 49-56.
Ma, A.N., Choo, Y.M. & Cheah, K.Y. (2003). Development of Renewable Energy in Malaysia. Malaysian Palm Oil Board (MPOB).
Menon, N. R, Rahman, Z. A & Bakar, N. A. (2003). Empty Fruit Bunches Evaluation: Mulch in Plantation vs. Fuel for Electricity Generation. Oil Palm Industry Economic Journal, Vol. 3, No. 2, p. 15-20. Malaysian Palm Oil Board.
Mitsubishi Securities (2004). Bumibiopower Methane Extraction and Power Generation Project. Mitsubishi Securities, Clean Energy Finance Committee.
Susila, W. R. (2004). ‘Impacts of CPO-export tax on several aspects of Indonesian CPO industty’, Oil Palm Industry Economic Journal, 4(2), 1-13, Malaysian Palm Oil Board.
sumber di copas dari : http://www.yousaytoo.com/pemanfaatan-limbah-kelapa-sawit/147480

Kamis, 06 Oktober 2011


KARYA   ILMIAH





JUDUL :

ASAL USUL MANUSIA












Oleh :
Dewi Sri Lestari Panggabean
NPM    : 51211973
Kelas : 1DF01






PENDAHULUAN

Latar  Belakang :

Karya ilmiah ini dibuat sebagai bentuk suatu karya bagi mahasiwa untuk menyalurkan salah satu keterampilan atau bakat  yang dimiliki.
Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan karya tulisan ini  dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin karya tulis tidak akan  selesai dengan baik.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Guru Pengajar yang telah memberikan tugas karya ilmiah ini agar dapat mengerti tentang bagaimana cara  membuat karya ilmiah.


Tujuan :

Tujuan dari  karya ilmiah yang sangat sederhana  ini diharapkan agar dapat menambah wawasan bagi pembaca. Penulis mengucapkan terima kasih dan mohon saran serta kritik karena karya ilmiah ini dirasakan masih jauh dari sempurna.
Batasan :
            Cara atau metode yang digunakan dalam membuat karya tulis ini hanya berdasarkan pada study literatur yang diperoleh dari website sebagai sumber referensi.


A.       Asal Mula Manusia di Indonesia

Hewan terdekat dengan manusia yang masih bertahan hidup adalah simpanse; kedua terdekat adalah gorila dan ketiga adalah orang utan. Sangat penting untuk diingat, namun, bahwa manusia hanya mempunyai persamaan populasi nenek moyang dengan hewan ini dan tidak diturunkan langsung dari mereka. Ahli biologi telah membandingkan serantaian pasangan dasar DNA antara manusia dan simpanse, dan memperkirakan perbedaan genetik keseleruhan kurang dari 5%. Telah diperkirakan bahwa garis silsilah manusia bercabang dari simpanse sekitar 5 juta tahun lalu, dan dari gorila sekitar 8 juta tahun lalu. Namun, laporan berita terbaru dari tengkorak hominid berumur kira-kira 7 juta tahun sudah menunjukkan percabangan dari garis silsilah kera, membuat gagasan kuat adanya percabangan awal silsilah tersebut.


Gambar Manusia Purba
Berikut beberapa gejala penting dalam evolusi manusia:
·       perluasan rongga otak dan otak itu sendiri, yang umumnya sekitar 1,400 cm³ dalam ukuran volumnya, dua kali lipat perluasan otak simpanse dan gorila. Beberapa ahli antropologi, namun, mengatakan bahwa alih-alih perluasan otak, penyusunan ulang struktur otak lebih berpengaruh pada bertambahnya kecerdasan.
·       pengurangan gigi taring.
·       penggerak bipedal (dua kaki)
·       perbaikan laring / pangkal tenggorokan (yang memungkinkan penghasilan bunyi kompleks atau dikenal sebagai bahasa vokal).

Bagaimana gejala-gejala ini berhubungan, dengan cara apa mereka telah menyesuaikan diri, dan apa peran mereka dalam evolusi organisasi sosial dan kebudayaan kompleks, merupakan hal-hal penting dalam perdebatan yang berlangsung di antara para ahli antropologi ragawi saat ini.
Selama tahun 1990an, variasi dalam DNA mitochondria manusia diakui sebagai sumber berharga untuk membangun ulang silsilah manusia dan untuk melacak perpindahan manusia awal. Berdasarkan perhitungan-perhitungan ini, nenek moyang terakhir yang serupa manusia modern diperkirakan hidup sekitar 150 milenium lalu, dan telah berkembang di luar Africa kurang dari 100.000 tahun lalu. Australia dijelajahi relatif awal, sekitar 70.000 tahun lalu, Eropa +/- 40.000 tahun lalu, dan Amerika pertama didiami secara kasarnya 30.000 tahun lalu, serta kolonisasi kedua di sepanjang Pasifik +/- 15.000 tahun lalu (lihat Perpindahan manusia).
Macam-macam kelompok agama telah menyatakan keberatan atas teori evolusi umat manusia dari sebuah nenek moyang bersama dengan hominoid lainnya. Alhasil, muncullah berbagai perbedaan pendapat, percekcokan, dan kontroversi. Lihat penciptaan, argumen evolusi, dan desain kepandaian untuk melihat pola pikir yang berlawanan.

B.       Perkembangan Kehidupan dan Hasil Budaya Manusia Purba di Indonesia

Jenis Manusia Purba di Indonesia
1.    Meganthropus Paleojavanicus
·       Memiliki tulang pipi yang tebal
·       Memiliki otot kunyah yang kuat
·       Memiliki tonjolan kening yang menyolok
·       Memiliki tonjolan belakang yang tajam
·       Tidak memiliki dagu
·       Memiliki perawakan yang tegap
·       Memakan jenis tumbuhan
2.    Pithecanthropus
·       Tinggi badan sekitar 165 – 180 cm
·       Volume otak berkisar antara 750 – 1350 cc
·       Bentuk tubuh & anggota badan tegap
·       Alat pengunyah dan alat tengkuk sangat kuat
·       Bentuk graham besar dengan rahang yang sangat kuat
·       Bentuk tonjolan kening tebal
·       Bentuk hidung tebal
·       Bagian belakang kepala tampak menonjol
3.    Homo
·       Volume otaknya antara 1000 – 1200 cc
·       Tinggi badan antara 130 – 210 cm
·       Otot tengkuk mengalami penyusutan
·       Muka tidak menonjol kedepan
·       Berdiri tegak dan berjalan lebih sempurna

 

C.       Hasil Budaya Manusia Purba Indonesia

·       Pithecanthropus Erectus
1.    Kapak perimbas
2.    Kapak penetak
3.    Kapak gengam
4.    Pahat gengam
5.    Alat serpih
6.    Alat-alat tulang
·       Homo
1.    Kapak gengam / Kapak perimbas
2.    Alat serpih
3.    Alat-alat tulang



·       Meganthropus Palaeojavanicus.
Merupakan jenis manusia besar tertua di Pulau Jawa. Ditemukan di daerah Sangiran pada tahun 1941 oleh Van Koenigswald. Hasil temuannya berupa rahang atas dan bawah.
·       Pithecanthropus
1.      Mojokertensis (Robustus)
2.      Erectus
·       Homo Sapiens
1.    Homo Soloensis
2.    Homo Wajakensis.

Kebudayaan Material (Kebendaan)
Berupa alat-alat yang dapat membantu mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hasil kebudayaan mereka pada masa berburu dan mengumpulkan makanan seperti : Kapak genggam,alat serpih dan alat tulang/tanduk. Sedangkan pada masa bercocok tanam berupa Kapak genggam Sumatra ( Pabble ), Kapak Pendek ( Bache Courte ), flakes, dsb. Dan pada masa Perundagian berupa alat-alat dari logam seperti : Kapak corong ( Kapak sepatu ), Nekara, Bejana Perunggu, perhiasan dan manik-manik dari perunggu.

Kebudayaan Immaterial (Rohani)
Munculnya sistem kepercayaan dalam kehidupan manusia berlangsung sejak masa berburu dan mengumpulkan makanan melalui penemuan penghormatan terakhir pada orang yang sudah meninggal, kemudian berubah menjadi pemujaan terhadap roh-roh leluhur pada masa bercocok tanam (Animisme dan dinamisme), terlihat dengan adanya hasil kebudayaan megalitik. Dalam perkembangan selanjutnya manusia menyadari dan merasakan adanya kekuatan yang maha besar di luar diri manusia yaitu kekuatan Tuhan (Monotheisme).

D.      Buku Babad Misteri Kabut Caringin Kurung Faridhal Attros Al Kindhy Asy'ari mengenai sejarah manusia di Indonesia
Buku ini menceritakan sejarah Indonesia dalam rentang 9 abad mulai dari abad 4 Sebelum Masehi (SM) sampai abad ke 5 Masehi. Sampai saat ini, tidak ada referensi yang jelas tentang kondisi kehidupan masyarakat Indonesia pada waktu itu, kecuali catatan yang tidak lengkap tentang kerajaan tertua di Indonesia yaitu Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat dan Kutai di Kalimantan Timur. Buku Babad Misteri Kabut Caringin Kurung ini memang menceritakan nenek moyang dari dua kerajaan tadi, dalam bahasa yang sangat-sangat mudah dipahami. Sehingga tidak heran bila ada yang menyebutnya sebagai novel sejarah.
Bila Buku Negara Kertagama tulisan Mpu Tantular dianggap sebagai sumber sejarah Kerajaan Majapahit pada abad 12 – 13 Masehi, maka buku ini lebih dari itu. Buku Babad Misteri Kabut Caringin Kurung, tulisan PENULIS (Faridhal Attros Al Kindhy Asy'ari) ini menceritakan kehidupan yang lebih kuno lagi. Bahkan rencananya, setelah buku ini, akan diterbitkan buku-buku lainnya yang mengungkapkan sejarah atau kehidupan bangsa ini sampai para periode terakhir, termasuk era penjajahan Belanda dan Jepang.
 
Kesimpulan: 
                  Nenek moyang bangsa kita ternyata berasal dari keturunan Manusia Yaksa (yang bisa dianggap sebagai penduduk asli Nusantara) yang kemudian melakukan perkawinan dengan keturunan India dan Cina. Dalam buku ini diceritakan postur tubuh dari manusia Yaksa, perilaku dan kehidupan sehari-sehari mereka. Manusia Yaksa ini sudah berada di Nusantara sejak 10.000 tahun sebelum tahun Saka. Bahkan diceritakan juga kehidupan manusia purba sekitar sejuta tahun yang lalu, Manusia Buncang, yang berperilaku mirip hewan. Sebelum Kerajaan Tarumanegara ataupun Kutai berkuasa di Nusantara ini ada kerajaan besar lain, yaitu Kerajaan Caringin Kurung yang berada di Puncak Manik, Gunung Handalus







Referensi :
1.   Alkitab, manusia berasal dari debu tanah
2        Prof. Dr. H. Kern dengan Teori Imigrasi menyatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari Asia (Campa, Kochin China dan Kamboja) . Hal ini didukung oleh adanya perbandingan bahasa yang digunakan di kepulauan Indonesia yang akar bahasanya adalah bahasa Austronesia.
3    Van Heine Geldern berpendapat bahwa bangsa Indonesia berasal dari Asia. Pendapat ini didukung oleh adanya artefak-artefak yang ditemukan di Indonesia memiliki banyak persamaan dengan yang ada di daratan Asia.
4.      Moh. Yamin, mengatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari Indonesia. Dia melihat bahwa banyak penemuan artefak maupun fosil tertua di Indonesia dalam jumlah yang besar.
5   Drs. Moh Ali, mengatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari Yunan, Cina Selatan.




JUDUL :

SEJARAH TERBENTUKNYA DANAU TOBA



PENDAHULUAN

Latar  Belakang :

Karya ilmiah ini dibuat sebagai bentuk suatu karya bagi mahasiwa untuk menyalurkan salah satu keterampilan atau bakat  yang dimiliki.
Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan karya tulisan ini  dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin karya tulis tidak akan  selesai dengan baik.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Guru Pengajar yang telah memberikan tugas karya ilmiah ini agar dapat mengerti tentang bagaimana cara  membuat karya ilmiah.


Tujuan :

Tujuan dari  karya ilmiah yang sangat sederhana  ini diharapkan agar dapat menambah wawasan bagi pembaca. Penulis mengucapkan terima kasih dan mohon saran serta kritik karena karya ilmiah ini dirasakan masih jauh dari sempurna.
Batasan :
            Cara atau metode yang digunakan dalam membuat karya tulis ini hanya berdasarkan pada study literatur yang diperoleh dari website sebagai sumber referensi.          






Supervolcano Toba






Gambar Danau Toba
Jauh dari Toba, di lapisan es yang dingin membeku di Greenland dekat Kutub Utara, pada awal dekade 1970 para ahli geologi glasial dan paleoklimatologi terheran-heran mendapati inti pengeboran es mengandung anomali endapan sulfat yang pasti berkaitan dengan endapan abu gunung api. Ribuan gunung api tersebar di atas Bumi, gunung api manakah yang endapan abunya tersebar hingga Kutub Utara? Hasil penelitian menemukan data yang mencengangkan. Clive Oppenheimer pada 2002 menyatakan anomali tersebut berhubungan dengan abu gunung api yang diendapkan oleh suatu kejadian letusan volkanik 74.000 tahun yang lalu. Endapan dengan umur sama yang lebih tebal dijumpai dari hasil pengeboran dasar laut di Samudera Hindia dan Laut Arab selama akhir 1980-an dan awal 1990-an. Semuanya ternyata berumur setara dengan endapan berwarna putih yang tersebar luas di dataran-dataran tinggi sekeliling Danau Toba. Itulah yang dikenal sebagai tuf Toba (Toba tuffs).
 
Gambar peta lokasi Danau Toba yang terletak di provinsi Sumut
Di jaman prasejarah, 74.000 tahun yang lalu, diperkirakan suatu rangkaian letusan gunung api yang dahsyat telah terjadi di sepanjang retakan pada batas-batas timur laut dan barat daya Danau Toba. R.W. van Bemmelen, seorang ahli geologi Belanda – yang bukunya “The Geology of Indonesia, 1949” selalu menjadi rujukan geologi Indonesia – pada 1929 dan 1939 mengemukakan hipotesis terbentuknya Danau Toba. Menurutnya, suatu pembumbungan bagian tengah Sumatera Utara yang dikenal sebagai “tumor Batak” menjadi cikal bakal terbentuknya Danau Toba. Tumor itu meletus luar biasa dahsyat, gabungan antara proses-proses volkanik dan tektonik, menyebabkan amblesnya bagian tengah tumor tersebut membentuk cekungan memanjang barat laut – tenggara, serarah memanjang Pulau Sumatera, dan juga searah dengan Sesar Besar Sumatera dan Pegunungan Bukitbarisan. Proses itu juga menyebabkan “terungkitnya” sebagian dari amblesan, terangkat naik dengan posisi miring ke arah barat daya, membentuk Pulau Samosir.
Pendapat Bemmelen yang telah bertahan begitu lama sejak 1929 itu akhirnya terbantahkan oleh penelitian geomorfologi yang dikerjakan oleh Verstappen selama 1961 – 1973. Ia mendapati adanya teras-teras struktural di ngarai-ngarai terjal Sei Asahan di Siguragura yang di atasnya terendapkan tuf Toba. Hal itu menunjukkan bahwa Sei Asahan telah terbentuk jauh sebelum letusan dahsyat Toba menurut Bemmelen pada 1929. Artinya, ada kemungkinan cekungan Toba telah ada sebelum letusan supervolcano, atau apa yang dikenalkan oleh Bemmelen sebagai letusan volkano-tektonik. Letusan-letusan besar itu terjadi pada gunung-gunung api yang kemungkinan terjadi pada retakan-retakan dan sesar-sesar yang mengapit gawir-gawir terjal lembah Danau Toba.
Letusan-letusan besar paroksismal menyemburkan abu-abunya hingga ke lapisan-lapisan stratosfer dan disebarkan ke seluruh permukaan Bumi. Endapan tebal tentu saja jatuh di sekitar pusat letusan di sekitar Danau Toba, menghasilkan tuf Toba, batuan berwarna putih dengan butiran-butiran gelas volkanik, fragmen kuarsa, dan matriks gelas berukuran lempung. Kejadian itu tidak berlangsung dalam satu kali saja. Hasil penelitian stratigrafi lapisan tuf Toba dan pengukuran umur absolutnya, menunjukkan adanya lapisan-lapisan tuf hasil letusan sekitar 74.000, 450.000, 840.000, dan 1,2 juta tahun yang lalu, menghasilkan perulangan 375.000 tahun dengan deviasi standar 15.000 tahun (Chesner et al. 1991 dan Dehn et al. 1991, dalam Rampino & Self, 1993).
Rampino dan Self (1993) mencurigai bahwa letusan supervolcano Toba telah menghasilkan letusan abu gunung api sebesar 2.800 km3 setinggi 40 km ke angkasa yang kemudian dapat menyebabkan pendinginan permukaan Bumi secara tiba-tiba. Rampino dan peneliti lainnya menyebut gejala pendinginan global itu sebagai “volcanic winter”. Suhu Bumi rata-rata turun 3 – 5oC. Besar kemungkinan letusan 74.000 tahun yang lalu mempengaruhi penghuni Bumi dan manusia saat itu. Secara global diketahui adanya gejala populasi leher botol berkaitan dengan menurun secara drastisnya populasi manusia bertepatan pada waktu 74.000 tahun yang lalu. Di Nusantara, dengan bukti-bukti fosil yang ditemukan di Pulau Jawa, Homo erectus, dan jenis manusia yang lebih modern seperti Manusia Wajak, besar kemungkinan merasakan pengaruh besar letusan dahsyat Toba. Memang, belum ada bukti kuat fenomena Toba menyebabkan kepunahan spesies manusia, tetapi pengaruh perubahan iklim dipastikan mengubah pola kehidupan mereka.
Contoh terdekat perubahan iklim global akibat letusan gunung api adalah setelah letusan Krakatau 1883, dan terutama letusan Tambora pada April 1815 yang 10 kali lebih dahsyat daripada Krakatau 1883. Letusan itu telah menyebabkan suatu fenomena aneh yaitu turunnya salju di bulan Juli di Eropa, sehingga tahun 1815 dijuluki “the year without summer.” Tahun-tahun setelah itu menyebabkan kegagalan panen di seluruh dunia akibat kekacauan iklim global.
Awal 2005, suatu pendapat yang akhirnya diakui salah kutip oleh peneliti dari Monash University Australia, Raymond Cas, menyatakan adanya massa magma raksasa di bawah Danau Toba yang siap meletus sebagai supervolcano. Pendapat yang membuat panik ini segera dibantah banyak ahli. Sekalipun massa magma itu memang ada, tetapi letusan dahsyat tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Tentu saja kita tidak berharap adanya letusan paroksismal dari supervolcano Toba, sekalipun fenomena itu dapat menghentikan gejala pemanasan global yang terjadi akhir-akhir ini.
Dalam Ekspedisi Geografi Indonesia VI 2009 di Provinsi Sumatera Utara, tuf Toba teramati ketika sebagian tim memasuki suatu kawasan eksklusif di tepi Danau Toba di Merek yang bernama Taman Simalem Resort. Tempat tersebut berdisain mewah dan apik, dengan suatu plaza persis menghadap ke arah indahnya Danau Toba bagian barat laut. Tempat yang tadinya berstatus hutan lindung itu telah disulap menjadi kawasan wisata mahal, termasuk pembangunan vihara yang sedang dalam tahap penyelesaian.
Lereng-lereng terjadi pada plateau Toba di Merek dipotong dan ditimbun (cut and fill) menjadi pola jalan berliku-liku menghasilkan pemandangan yang eksotis. Vihara ditempatkan di salah satu ujung tanjung dan diapit oleh lereng-lereng terjal. Di sinilah persoalan akan muncul. Lereng-lereng terjal yang didominasi oleh tuf Toba bersifat gembur dan berpasir, serta mudah mengalami denudasi. Gejala-gejala erosi dan longsoran sudah mulai terlihat. Pengembang kelihatan mengerti benar permasalahan yang akan dihadapi. Beberapa dinding penahan dan bronjong batu telah dibangun untuk menahan ketidakstabilan lereng-lerengnya. Pemeliharaan yang nantinya terus-menerus harus terkontrol sehingga akan sangat mahal.
Lain lagi singkapan tuf Toba pada jalan ke arah Sidikalang, melalui Sumbul. Sumbul terletak persis pada garis morfologi memanjang barat laut – tenggara sebagai ekspresi Sesar Besar Sumatera. Garis ini ditempati oleh aliran Lau Renun yang menoreh tajam lembah sungainya. Di lereng Lau Renun yang terjal, tuf Toba yang keras digali sebagai batu bahan fondasi. Sementara itu pada arah yang jauh berseberangan di Doloksanggul – Onanganjang, sebagian besar batuan tuf telah mengalami alterasi. Tanah berwarna kuning, jingga, dan merah menghiasi pinggir-pinggir jalan akibat pengaruh larutan sisa magma pada proses lanjut.
Di Pulau Samosir, tuf Toba yang keras menjadi artefak-artefak peninggalan kerajaan-kerajaan kuno Batak berupa kursi-kursi dan meja altar tempat penyiksaan musuh yang tertawan. Batu-batu kursi tersebut sangat terkenal sebagai objek wisata di Siallagan, Kecamatan Simanindo. Batu tuf keras juga menjadi sarkofagus, tempat menyimpan mayat raja-raja Sidabutar di Tomok, atau patung-patung berhala. Tuf Toba yang saat diletuskan menghancurkan ekosistem sekitarnya, jauh setelah itu ternyata ikut berperan di dalam perkembangan kebudayaan kerajaan-kerajaan Batak tua di sekitar Danau Toba dan Samosir.
Tingkat kekerasan tinggi batuan tuf Toba tidak hanya dijumpai di lereng Lau Renun, Sidikalang, Kabupaten Dairi, atau di Pulau Samosir, tetapi juga tercermin dari air terjun sangat tinggi dan vertikal Sipisopiso di Merek. Apalagi di sepanjang lereng-lereng sangat terjal di ngarai Sei Asahan antara Siguragura dan Tangga, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir, batuan tuf Toba selintas tampak seperti granit yang perlu beberapa kali pukulan kuat dengan palu geologi untuk memecahkannya.
Sei Asahan sebagai sungai drainase dan tempat keluarnya air Danau Toba yang maksimum berpermukaan 905 m dpl, menggerus secara vertikal dan dalam batuan tuf Toba mengikuti pola-pola retakan tektonik. Anak-anak sungainya masuk ke lembah Asahan sebagai air terjun yang tinggi, menguraikan airnya menjadi embun ketika jatuh menuruni dinding ngarai yang tegak. Aliran Sei Asahan mengarah ke timur laut untuk kemudian berubah menjadi sungai besar di Perhitian, Halado, setelah seluruh airnya keluar dari terowongan PLTA Tangga. Akhirnya sungai ini mengalir bermeander di dataran pantai timur Sumatera Utara, untuk kemudian bermuara sebagai sungai distributary yang berliku-liku pada lingkungan delta di Teluk Nibung, Tanjungbalai. Tempat ini merupakan pelabuhan ramai yang menjadi pintu perairan Selat Malaka bagi kapal-kapal menuju Selangor, Malaysia.
Empat lembar peta geologi di sekitar Danau Toba memetakan dengan jelas sebaran tuf Toba ini (Aldiss dkk. 1983, Aspden dkk. 2007, Cameron dkk. 1982, dan Clarke dkk. 1982). Tuf Toba tersebar jauh ke arah utara, dan dijumpai hingga Pematangsiantar, bahkan mencapai Tebingtinggi. Tidak perlu heran. Jika di tengah-tengah Samudera Hindia saja didapati endapan tuf Toba, jarak ke Tebingtinggi hanyalah jangkauan tidak seberapa bagi suatu letusan super-dahsyat. Ke arah selatan, tuf mengendap mengisi perbukitan dan lembah sepanjang Pegunungan Bukitbarisan sejak Sidikalang di barat laut hingga Tarutung dan Sipirok di tenggara dan selatan.
Tarutung adalah kota kecil yang sangat dikenal oleh para peneliti ilmu kebumian, khususnya yang berkecimpung dalam bidang bencana gempa bumi. Tempat yang dalam bahasa Batak berarti “durian” ini pernah diguncang gempa bumi merusak 6,6 skala Richter pada 27 April 1987. Memang jalur di Bukitbarisan itu adalah jalur retakan dan patahan aktif sepanjang Pulau Sumatera, mulai dari Teluk Semangko di Lampung, menerus ke utara melalui Bengkulu, Kerinci di Jambi, Danau Singkarak dan Padangpanjang di Sumatera Barat, Tarutung – Sidikalang di Sumatera Utara, hingga Bandaaceh.
Ciri morfologi lembah dan perbukitan memanjang sebagai hasil kegiatan tektonik aktif, tampak jelas di Tarutung, tempat Aek Sigeaon mengalir di sepanjang lembah. Kegiatan tektonik aktif yang menghancurkan kekuatan batuan juga mempengaruhi kondisi jalan antara Tarutung dan Sipirok. Di Aek Latong, ruas jalan selalu ambles. Selain karena berada pada jalur sesar aktif, ditambah lagi ada pengaruh batu lempung yang mudah hancur dan rawan longsor.
Retakan-retakan yang terbentuk di sepanjang lembah ini juga menjadi jalan bagi keluarnya air panas. Mata air panas Sipoholon dekat Tarutung yang terukur bersuhu 63,8oC menjadi tempat wisata yang ramai. Air panas Sipoholon keluar dari celah-celah batuan dan menembus tuf Toba. Endapan travertin yang terbentuk akibat air panas menerobos tuf Toba menghasilkan endapan dengan pola-pola yang menarik, berupa bentukan stalaktit dan stalagmit, serta teras-teras endapan travertin.
Ke arah tenggara masih dijumpai mata air dengan gelembung-gelembung udara dengan rasa sedikit asam sehingga penduduk menamakannya “air soda” di Parbubu. Suhu air secara umum relatif hangat, yaitu 31,5oC. Tetapi karena suhu udara juga cukup panas (30,7oC), air soda Parbubu terasa dingin ketika disentuh. Makin ke tenggara, di Sipirok, dijumpai pula mata air panas di Aek Milas Sosopan yang dimanfaatkan oleh masjid setempat sebagai air wudlu. Aek Milas dalam bahasa Batak Sipirok memang berarti “air panas.”
Mata air panas di sepanjang Tarutung – Sipirok merupakan mata air panas yang terjadi akibat patahan, sekalipun sumber air panasnya diperkirakan berasal dari sumber-sumber magmatis juga. Hal itu berbeda dengan air panas bersuhu 47,3oC yang terasa ngilu di gigi karena ber-pH sangat asam di Aek Rangat yang terletak di lereng G. Pusukbuhit, dekat Pulau Samosir. Air panas di Aek Rangat sangat jelas berkaitan langsung dengan aktifitas gunung api Pusukbuhit, sama halnya dengan air panas yang juga muncul di Lau Sidebukdebuk, dari lereng G. Sibayak, Tanah Karo

Kesimpulan :
Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran luas 100km x 30km di Sumatera Utara, Sumatera, Indonesia. Di tengah danau ini terdapat sebuah pulau vulkanik bernama Pulau Samosir.
Danau Toba sejak lama menjadi daerah tujuan wisata penting di Sumatera Utara selain Bukit Lawang dan Nias, menarik wisatawan domestik maupun mancanegara, danau toba adalah salah satu danau terbesar didunia.




Referensi :
  1. Aldiss, D.T., S.A. R. Whandojo, Sjaefudien A.G., and Kusjono (1983), Geologic Map of the Sidikalang Quadrangle, Sumatra 0618, Scale 1:250,000, Geo. Res. And Dev. Centre, Bandung.
  2. Aspden, J.A., W. Kartawa, D.T. Aldiss, A. Djunuddin, D. Diatma, M.C.G. Clarke, R. Whandoyo, and H. Harahap (2007), Geologic Map of the Padangsidempuan and Sibolga Quadrangle, Sumatra 0717, Scale 1:250,000, Geo. Res. And Dev. Centre, Bandung.
  3. Bemmelen, R.W. van (1949), The Geology of Indonesia, Vol. IA, Martinus Nijhoff, The Hague, The Netherlands.
  4. Cameron, N.R., J.A. Aspden, D. McC Bridge, A. Djunuddin, S.A. Ghazali, H. Harahap, Hariwidjaja, S. Johari, W. Kartawa, W. Keats, H. Ngabito, N.M.S. Rock and R. Whandoyo (1982), Geologic Map of the Medan Quadrangle, Sumatra 0619, Scale 1:250,000, Geo. Res. And Dev. Centre, Bandung.
  5. Clarke, M.C.G., S.A. Ghazali, H. Harahap, Kusyono, and B. Stephenson (1982), Geologic Map of the Pematangsiantar Quadrangle 0718 Scale 1:250,000, Geo. Res. And Dev. Centre, Bandung.
  6. Oppenheimer, C. (2002), Limited Global Change Due to the Largest Quaternary Eruption Toba 74kyr BP, Quat. Sci. Rev. 21 (14-15), pp. 1593-1609.
  7. Rampino, M.R., dan S. Self (1993), Climate-Volcanism Feedback and the Toba Eruption of ~ 74,000 Years Ago, Quaternary Research, Vol. 40, pp. 269-280.